Selasa, 11 Oktober 2011

Kisah Ahli Ibadah Mati Su’ul Khotimah




Janganlah kita terlampau puas dengan amal shalih yang sudah kita lakukan dan bersandar padanya. Apalagi diikuti dengan merasa bangga diri dan merasa sudah pasti menjadi ahli surga. Akibatnya, tidak lagi berharap kepada rahmat Allah dan kemurahan-Nya.

Sesungguhnya perbuatan hamba ditentukan pada akhir hayatnya. Dan kita tidak tahu di atas kondisi apa mengakhiri kehidupan kita, apakah husnul khatimah (akhir hayat yang baik) atau su'ul khatimah (akhir hayat yang buruk).

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan bagian akhirnya.” (HR. Bukhari).

Artinya, barangsiapa yang telah ditetapkan oleh Allah beriman di akhir hayatnya, meskipun sebelumnya dia kufur dan selalu melakukan maksiat, menjelang kematiannya ia akan beriman. Ia meninggal dalam keadaan beriman dan dimasukkan ke dalam surga. Demikan juga dengan orang yang sudah ditentukan kafir atau fasik di akhir hayatnya, meskipun sebelumnya ia beriman, maka menjelang kematiannya ia akan melakukan kekufuran. Ia meninggal dalam keadaan kufur dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

"Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan ahli neraka, lantas ia memasukinya. Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, lantas ia memasukinya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Sahl bin Sa'ad al Sa'idi, "Sesunggunya ada seorang dari kalian benar-benar melakukan amalan ahli surga, dalam apa yang nampak kepada manusia. . . ." (HR. Bukhari dan Muslim)

Karenanya, kita harus senantiasa berdoa supaya Allah senantiasa memberikan keteguhan hati di atas kebenaran dan kebaikan serta memberikan kepada kita husnul khatimah. Sebaliknya kita juga berlindung kepada Allah dari su'ul khatimah dan kesudahan yang buruk.

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam senantiasa berdoa,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati di atas agama-Mu.”

Dalam riwayat muslim beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya hati semua manusia berada di antara dua jari Allah, seolah-olah hanya satu hati. Allah berbuat sekehendak-Nya.” Lalu beliau berdoa,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan kepada-Mu.”

Sebab Su'ul Khatimah

Ibnu Hajar al Haitami berkata, “Sesungguhnya akhir hayat yang buruk diakibatkan bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka, namun di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka, menjelang ajalnya bibit kebaikan itu tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dalam keadaan husnul khatimah."

Abdul Aziz bin Dawud berkata, “Aku hadir pada seseorang yang sedang ditalqin (dibimbing untuk mengucapkan kalimat syahadat), akan tetapi ia tidak mau. Lalu aku bertanya tentang orang ini. Ternyata ia seorang peminum khamer."

Pada kesempatan yang lain ia berkata, “Berhati-hatilah dengan dosa, karena dosa bisa menjerumuskan seseorang ke dalam su'ul khatimah."

Berhati-hatilah dengan dosa, karena dosa bisa menjerumuskan seseorang ke dalam su'ul khatimah.

Abdul Aziz bin Dawud

Kisah Tragis seorang ahli Ibadah yang mati Su'ul Khatimah

Manshur bin Ammar mengisahkan, dulu kala aku punya seorang teman yang suka melampaui batas, lalu bertaubat. Aku melihat dia banyak beribadah dan shalat tahajjud. Suatu ketika aku putus komunikasi dengannya. Dan menurut kabar dari orang-orang, ia sedang sakit. Maka aku pergi ke rumahnya dan anak perempuannya datang menemuiku. Dia bertanya, “Siapa yang engkau ingin temui?” Aku menjawab, “Si fulan.” Maka ia mengizinkanku masuk dan akupun bergegas ke dalam rumah.Aku melihatnya sedang tebaring di atas ranjang yang terletak di tengah rumah. Mukanya terlihat kehitaman, kedua matanya tertutup dan kedua bibirnya bengkak dan menebal.

Aku berkata padanya dengan perasaan takut melihatnya, “Wahai saudaraku, perbanyaklah mengucap Laa Ilaaha Illallaah.” Ia membuka kedua matanya dan menatapku dengan penuh kemarahan, lalu ia tak sadarkan diri. Kembali kuulangi perkataanku kedua kalinya, wahai saudaraku perbanyaklah mengucap Laa Ilaaaha Illallaah.” Pada saat aku mengulanginya untuk ke tiga kalinya, lalu ia membuka matanya dan berkata, “Wahai Manshur, saudaraku, kalimat ini telah menjauh dariku.”

Aku bergumam, "Tiada daya dan tiada upaya melainkan dengan izin Allah, Dzat Mahatinggi dan Mahamulia."

Kemudian aku bertanya padanya, “wahai saudaraku, di manakah shalat, puasa, tahajud dan shalat malammu?”

Ia menjawab, “Aku melakukan semua itu bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan taubatku hanyalah taubat palsu. Sebenarnya aku melakukan semua itu supaya aku dikenal dan disebut-sebut orang, aku melakukannya dengan maksud pamer kepada orang lain. Bila aku menyepi seorang diri, aku masuk ke dalam rumah dan memasang tirai-tirai, lalu aku minum khamer dan menantang Tuhan dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Aku terus melakukan itu sampai beberapa masa. Kemudian aku ditimpa penyakit hingga hampir binasa. Saat itu juga aku suruh anak perempuanku, ‘ambilkanlah aku mushaf!’ dan aku berdoa, ‘Ya Allah, demi kebenaran Al-Qur’an yang agung, sembuhkanlah aku!’ Dan aku berjanji tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya. Maka Allah membebaskanku dari penyakit.

Setelah sembuh, aku kembali kepada keadaan semula, hidup berpoya-poya dan berhura-hura. Syetan telah membuatku lupa dengan perjanjian yang telah kuikrarkan kepada Tuhanku. Aku terlena dalam keadaan itu sampai beberapa saat lamanya hingga aku menderita sakit hampir mati karenanya. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti biasanya. Kemudian aku suruh mereka mengambilkan mushaf dan aku mulai membacanya. Lalu aku acungkan mushaf itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, demi kehormaan kalam-Mu yang ada dalam mushaf ini, bebasknalah aku dari penyakitku!.’ Maka Allah mengabulkan permintaanku dan menyembuhkan penyakitku.

Kemudian aku kembali hidup bersenang-senang dan akupun jatuh sakit lagi. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti yang engkau lihat sekarang ini. Kemudian aku menyuruh mereka mengambilkan mushaf untuk kubaca, tetapi mataku sudah tidak bisa melihat saru huruf-pun. Aku pun menyadari bahwa Allah sudah murka kepadaku. Lalu aku acungkan mushaf itu di atas kepalaku sembari memohon, ‘Ya Allah, demi kehormatan mushaf ini, bebaskalah aku dari penyakit ini, wahai penguasa bumi dan langit!’ Tiba-tiba aku mendengar seperti suara memanggil, ‘engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.”

‘Engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.
Manshur bin ‘Ammar berkata, “sungguh demi Allah aku keluar dari rumahnya dengan air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan belum sampai di pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah meninggal.” [PurWD/voa-islam.com]

(Sumber: Mi’ah Qishash wa Qishah fi Anis ash-Shalihin wa Samir al Muttaqin, Muhammad Amin al Jundi, (edisi Indonesia: 101 kisah teladan, Mitra Pustaka Yogyakarta, Cet XI November 2006).