Sabtu, 17 Disember 2011

“Dia Yang Maha Dekat, Di Manakah Kita?”




Kau tahu sahabat, apa yang membuat kita gelisah?
“Gelisah”… Itulah kata yang tepat menurutku untuk mewakilkan kondisi kita ketika serpihan ketenangan hilang dalam jiwa kita.

Pernahkah engkau merefleksi dirimu dari mana awal kegelisahan itu datang?
Dari mana perasaan tak jelas itu menghampiri kita?
Pernahkah engkau mengarahkan sang penguasa karya kita berhenti sejenak untuk menelusuri keberadaannya?

Maka, segudang pertanyaan serupa dan kalimah jawaban tentunya tiba-tiba hinggap di pemikiran kita untuk menjawab perihal tersebut.

“Hanya dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tenang.” (Al-Quran)

Wahai sahabat, tidak ada sedikit pun niat dalam diri ini untuk menggurui, mari kita bersama-sama duduk sebentar di sini. Meluangkan waktu beberapa menit untuk bersama-sama mengintrospeksi diri.

Suatu ketika datanglah seorang perantau dari desa yang tersembunyi di pulau Sumatra. Ia datang ke Jakarta untuk sebuah mimpi. Banyak hal yang ia dapatkan, termasuk bekal ruhiyah. Alhamdulillah ia dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang yang bermajelis menegakkan panji-panjinya. Suasana seperti ini membuatnya betah tinggal di Jakarta. Hingga ia pun menceritakan segala kenikmatan ini kepada sang bidadari pertamanya, ibunda tercinta, yang senantiasa mendoakan anandanya di kota perantauan.

Hingga suatu hari, ia mengikuti sebuah pelatihan kepemimpinan dan manajemen diri di kota sebelah. Seperti mendapat durian runtuh, ia tercengang akan kematangan pribadi orang-orang di lingkungan pelatihan ini. Tak henti-henti kalimah-kalimah Allah pun terus terucap sebagai rasa syukurnya karena episode kehidupannya yang begitu berwarna. Di sana, ia bertemu dengan seorang sahabat yang seakan-akan cerminan dari pribadinya. Bedanya, sang sahabat lebih dewasa dan setiap perkataan yang dilontarkannya serupa nasihat. Nasihat yang begitu menginspirasi, seolah-olah jika ia berkata, maka beban masalah pun serasa pergi jauh. Acara pelatihan selesai dan perpisahan itu pun terjadi.

Beberapa bulan kemudian, si pemuda mengalami kesulitan. Masalah ini seakan-akan menjerat lehernya hingga ia sesak untuk bernafas. Anehnya, semenjak acara tersebut, si pemuda seperti mengalami futur dalam hal ruhiyah. Dan pertama kali yang ia ingat adalah sang sahabat yang pernah menjadi teman makan dan minum selama pelatihan. Ia ingin bertemu untuk menceritakan segala hal dan tentunya meminta nasihat kepadanya. Akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di kota sebelah. Sesampai di sana, ia tak menemukan sahabat yang diagungkannya, walau alamat yang tercatat lengkap, dan rumah pun ditemukan. Namun, tetap saja ia tak menemukan sang sahabat. Pemuda pun terus mencari, hingga hasil nihil yang didapat.

Sahabat, ke manakah sekarang Allah di hati pemuda tersebut?
Mengapa harus manusia yang dijadikan sandaran pertama untuk mengadu?
Mengapa tidak kita ceritakan lembaran pahit ini ke Dia, Yang Maha Mendengar?
Pantaskah kita melakukannya?

Setiap desah nafas ini, setiap aliran darah ini, setiap detakan jantung ini, dan setiap denyutan nadi ini, hanya milik Allah.
Ia bisa berhenti sekejap atau selamanya jika Allah menginginkan.

Tapi, semua itu tidak terjadi, sahabat. Kita akan terus memiliki kenikmatan tersebut hingga Allah memanggil kita ke sisiNya.
Mengapa?

Karena rasa kecintaan Allah yang begitu besar kepada para hambanya. Kepada kita.
Kecukupan selalu Allah berikan kepada hamba – hambanya.
Kecukupan. Karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Dengan tujuan, kita bisa lebih berharga di hadapanNya. Manusia yang selalu bersahaja, dan tidak berlebihan dalam mengikuti hawa nafsu.

Allah Subhanahu Wata’ala.
Dia begitu dekat, sahabat.
Begitu dekat.
Dia berada lebih dekat dari urat di tenggorokan, jauh lebih dekat dari aliran darah yang kita rasakan.
Namun, mengapa kita cenderung melakukan aksi yang kontradiktif, sahabat?
Menjauh sendiri tanpa alasan yang jelas.
Merasa gelisah seolah-olah Allah begitu jauh.

Masih ingatkah engkau dengan hadits ini, sahabat:
“Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmat) bila dia ingat Aku. Jika dia mengingatKu dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”.

Maka, siapakah yang lebih berhak untuk mendapatkan perhatian kita?
Apa tujuan hidupmu di dunia, sahabat?
Jadikanlah Allah sebagai satu-satunya tujuan hidupmu, satu-satunya Dzat yang berhak atas perhatianmu, cintamu, dan senyumanmu.

Begitu Besarnya Allah, Dia memberikan kita kelonggaran untuk membagi semua hakNya atas perhatian, cinta, dan senyuman kita kepada orang – orang terdekat, kepada mereka yang dihalalkan untuk kita.

Ingatlah sahabat, dunia ini hanya persimpangan. Dan setiap persimpangan hanya berlalu sebentar. Dunia hanya sebagai tempat persinggahan kita sementara sebelum menapaki kehidupan abadi, akhirat.

“Jagalah Allah, niscaya Allah kan menjagamu.”
(Sebening wasiat Rasulullah SAW. kepada Ibnu Abbas)

Istimewakanlah Allah, maka Allah akan mengistimewakanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Allah akan mengenalimu di kala susah..
Dunia, hanya sesuatu yang fana. Akhirat kelaklah tempat kembali yang nyata..


Karena engkau begitu berharga, sahabat. Dan sesuatu yang berharga hanya berhak mengalihkan perhatianNya kepada Dzat yang Paling Berharga. Karena kemuliaan itu hanya untuk orang – orang yang berharga.

(Devia Puspita Sari, dakwatuna.com)